Polrinews
Janggal Proses Hukum Mafia Lahan, Pasutri di Meranti Nuntut Keadilan ke Polda Riau
MERANTI -- Pasangan suami istri (pasutri) Eramzi (58) dan istrinya, Norma (50), warga Selat Panjang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, kembali menuntut keadilan yang telah lama menghilang.
Meski Eramzi sudah bebas, sebelumnya sempat menjalani proses hukuman yang divonis oleh pengadilan 1 tahun 6 bulan penjara pada medio 2022.
Semangat Eramzi dan istrinya tidak menyurutkan niatnya untuk kembali tampil didepan aparat penegak hukum Polda Riau.
Dimana, dalam proses penyelidikan dugaan tuduhan pemalsuan surat dan pencurian batang sagu oleh Eramzi terkesan sangat janggal sekali.
"Klien saya tidak pernah melakukan pemalsuan surat. Tulis dan baca saja dia tidak tahu, apa lagi memalsukan surat," ungkap Herman selaku Penasehat hukum Eramzi saat dihubungi Minggu 23 November 2025.
Eramzi telah membuat laporan ke Polda Riau pada 4 Februari 2025. Ia melaporkan Her alias Aguan atas pemalsuan tanda tangan.
Herman menjelaskan, dugaan pemalsuan tanda tangan pada surat tanah atau SKGR Nomor : 07/PPAT/2000 yang diterbitkan 29 Februari 2000, dan SKGR tersebut, digunakan sebagai alat bukti dipersidangan Pengadilan Negeri Bengkalis pada tahun 2022 yang lalu.
Awalnya, pada 7 Juli 2019, Eramzi menyuruh buruh penebang melakukan pemanenan batang sagu dikebun miliknya. Pada saat melakukan panen sagu, terlapor Her alias Aguan, ada di lahan Eramzi.
"Terlapor menghentikan penebangan batang sagu dan menyuruh pekerja berhenti. Pelaku bilang tanah klien saya ini milik dia," kata Herman.
Singkat cerita, pada 28 Agustus 2019, Her alias Aguan membuat Laporan Polisi Nomor : LP/69/VIII/2019/RES KEP. MERANTI, dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan atau percobaan pencurian batang sagu.
Atas laporan tersebut, akhirnya Eramzi diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Polres Kepulauan Meranti.
Ia menyebut, surat tanah tersebut dibuat oleh seseorang berinisial S, yang kini berstatus daftar pencarian orang (DPO). Namun, tak kunjung tertangkap.
Pada saat kliennya diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Riau, Eramzi meminta untuk memperlihatkan surat tanah jika memang milik Her alias Aguan.
Lalu, penyidik memperlihatkan SKGR Nomor Reg Camat 07/PPAT/2000 tanggal 29 Februari 2000.
"Klien saya melihat di SKGR tersebut, pihak pertama sebagai penjual atas nama Eramzi dan pihak kedua Her alias Aguan sebagai pembeli. Klien saya kaget dan langsung meminta foto copy surat tersebut. Tapi penyidik tidak mau memberikan. Klien saya bilang tidak pernah menjual tanah kebun sagu kepada Her alias Aguan, tapi kok bisa data tanda tangannya. Jelas itu dipalsukan," ujar Herman.
Penyidik sempat memberikan waktu yang cukup lama untuk mediasi antara Eramzi dan Her alias Aguan.
Mediasi sempat terjadi sebanyak 3 kali, tetapi gagal karena Her alias Aguan menawarkan ganti rugi dengan harga yang murah.
Akhirnya, laporan Her alias Aguan pun terus berlanjut dan Eramzi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Setelah menjalani persidangan, Eramzi divonis 1 tahun 6 bulan penjara pada 2022.
"Sekarang klien saya sudah bebas," sebut Herman.
Setelah Herman mempelajari berkas perkara kliennya, dari keterangan Her alias Aguan dan juga keterangan saksi dipersidangan, memang tidak ada transaksi jual beli sebidang tanah kebun sagu tersebut.
Tapi, anehnya terungkap fakta dipersidangan bahwa Her alias Aguan memiliki SKGR Nomor Registrasi Camat 07/PPAT/2000 tanggal 29 Februari 2000.
Yang mana pihak pertama sebagai penjual atas nama Eramzi, dan pihak kedua sebagai pembeli atas nama Her alias Aguan.
SKGR tersebut dijadikan oleh Her alias Aguan sebagai alat bukti kepemilikannya.
"Harusnya kan Her alias Aguan yang diproses hukum sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP. Karena dia telah menggunakan SKGR tersebut sebagai alat bukti pada saat pemeriksaan di kepolisian dan dipersidangan. Nah ini yang kita jadi tanda tanya besar, ada apa?," ujar Herman.
Oleh karena itu, Herman mendampingi Eramzi melaporkan Her alias Aguan ke Polda Riau.
"Saya berharap, laporan klien saya dapat di atensi oleh Bapak Kapolda Riau. Hukum harus ditegakkan. Equality before the law, jadi setiap warga negara sama dihadapan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap penanganan perkara meskipun itu untuk orang yang tidak mampu," kata Herman.
Pada 5 Agustus 2025, tambah dia, penyidik Polda Riau telah melakukan gelar perkara. Namun, sampai saat ini hasil gelar perkara tersebut tidak diketahui.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau, Kombes Asep Darmawan saat dikonfirmasi Kompas.com mengaku kasus tersebut sudah ditangani.
"Sudah ditangani Subdit II," sebut Asep singkat melalui pesan WhatsApp.
Editor :Helmi